Tuesday, December 20, 2011

Dapatkah Bahan yang Terkandung dalam Tabir Surya Mempengaruhi Kulit Secara Negatif?


Jika Anda mengira permasalahan seputar vitamin D dan sinar matahari sudah cukup rumit, kontroversi seputar bahan-bahan yang terkandung dalam tabir surya jauh lebih rumit lagi. Biar saya perjelas, saya juga sama frustasinya dengan semua orang sehubungan dengan penelitian-penelitian yang saling bertentangan ini. Kita semua tahu bahwa sinar matahari merusak kulit tetapi apa yang harus kita lakukan jika ternyata bahan-bahan yang terkandung di dalam tabir surya dapat menyebabkan masalah yang sama atau bahkan lebih buruk? Tabir surya yang diteliti mencakup hampir semua bahan-bahan tabir surya sintetis yang digunakan dalam produk-produk SPF, seperti octylmethoxy cinnamate, 4-methylbenzylidene camphor, phenylbenzimidazole, sulphonic acid, dan 2-phenylbenzimidazole, padimate-O, homosalate, oxybenzone, avobenzone, butyl methoxydibenzylmethane, benzophone-3, dan Mexoryl.

Banyak dari antara bahan-bahan ini yang dipertanyakan karena mereka dapat memasuki aliran darah dan mengganggu sistem endokrin yang mengatur pelepasan hormon dalam tubuh, atau menyebabkan mutasi sel in vitro. Bahan-bahan sintetis dalam tabir surya seringkali dapat menyerupai estrogen sehingga muncul pertanyaan bagaimana dengan pengaruhnya terhadap sistem tubuh?

Ironisnya, kemampuan bahan-bahan dalam tabir surya yang dapat mengganggu sistem endokrin tersebut “beberapa kali lipat lebih rendah dari estrogen alami” (Sumber: Environment International, Juli 2007, halaman 654–669). Sumber lain yang dapat mengganggu endokrin manusia berasal dari tanaman, seperti mariyuana (Sumber: Toxicology, Januari 2005, halaman 471–488), atau ditemukan pada obat-obatan seperti acetaminophen (Tylenol) (Sumber: Water Research, November 2008, halaman 4578–4588).
Beberapa kelemahan lain dari bahan tabir surya sintetis adalah saat diserap, bahan ini dapat menimbulkan kerusakan akibat radikal bebas. Bahan tabir surya sintetis berinteraksi dengan cahaya yang seharusnya mereka alihkan dari sel kulit. Beberapa penelitian yang telah diterbitkan menunjukkan adanya kerusakan oksidatif in vitro dari beragam bahan tabir surya. Di sisi lain, tabir surya juga bereaksi dengan radiasi UV dan memerangkapnya lalu menghilangkan efek berbahayanya. Beberapa ilmuwan berpendapat bahwa bahan tabir surya sintetis hanya dapat memberikan perlindungan dengan cara memerangkap radikal-radikal tersebut.

Jadi apa yang harus dilakukan? Pertanyaan yang bagus, sayangnya tidak ada jawaban yang mudah.
Kenyataannya, semua bahan tabir surya sintetis, bahkan titanium dioxide dan zinc oxide berpartikel nano sekalipun, memiliki hasil penelitian negatif mengenai kemungkinan dampak mereka pada kulit. Penelitian-penelitian tersebut juga bukanlah artikel ilmiah tak bernilai—mereka semua berasal dari penerbit yang sangat terkenal dan melibatkan percobaan in vivo maupun in vitro, dan termasuk laporan dari jurnal-jurnal terkemuka seperti The Lancet, Journal of Investigative Dermatology, dan Mutation Research. Daripada penjelasan panjang lebar mengenai masing-masing penelitian (yang akan memakan berhalaman-halaman), saya akan menyimpulkan permasalahan utamanya.

Beberapa penelitian in vitro dan in vivo menunjukkan bahwa ada kemungkinan beberapa bahan tabir surya tertentu dapat diserap ke dalam kulit. Tetapi, banyak peneliti yang percaya bahwa kebanyakan bahan tabir surya tetap berada di permukaan kulit (dimana sel kulit mati berada) dan tidak masuk ke dalam lapisan kulit yang lebih dalam, dimana kerusakan yang sesungguhnya terjadi. Jika demikian halnya, maka efek negatif yang terlihat pada permukaan kulit dalam penelitian menggunakan tabung uji tidak relevan. Bahkan jika penyerapan sungguh terjadi, resiko yang sesungguhnya belum diketahui.
Semua masalah ini cukup signifikan dan memerlukan penelitian lebih lanjut, tetapi tidak ada satupun dari hasil temuan yang mengindikasikan bahwa orang-orang harus berhenti menggunakan tabir surya atau bahwa adanya unsur-unsur ini dapat menyebabkan masalah. Selain itu, penting untuk disadari bahwa tidak ada satu bahan tabir surya yang lebih besar potensi resikonya dibanding bahan yang lainnya. Pada akhirnya, yang penting untuk diketahui adalah bahwa sejumlah besar penelitian menunjukkan: terekspos terhadap sinar matahari dalam waktu yang lama tanpa menggunakan tabir surya sangat terkait dengan banyak masalah kulit yang serius.

(Sumber untuk artikel diatas: Aquatic Toxicology, November 2008, halaman 182–187; American Journal of Clinical Nutrition, Agustus 2008, halaman 570S–577S; Environmental Health Perspectives, Juli 2008, halaman 893–897; Journal of the American Academy of Dermatology, Mei 2008, halaman S155–S159; Journal of the European Academy of Dermatology and Venereology, April 2008, halaman 456–461; International Journal of Andrology, April 2008, halaman 144–151; Toxicology, Juli 2007, halaman 140–148; Advanced Drug Delivery Reviews, Juli 2007, halaman 522–530; Critical Reviews in Toxicology, Maret 2007, halaman 251–277; 2007 CIR Compendium, Cosmetic Ingredient Review, 2007, halaman 37–38; www.cosmeticinfo.org; Current Drug Delivery, Oktober 2006, halaman 405–415; Toxicology In Vitri, April 2006, 301–307; Toxicological Sciences, April 2006, halaman 349–361; Skin Pharmacology and Physiology, Juli-Agustus 2005, halaman 170–174; Toxicology, Desember 2004, halaman 123–130; Journal of Controlled Release, Juni 2002, halaman 225–233; November 2002, halaman S131–S155; http://ec.europa.eu/health/ph_risk/committees/sccp/docshtml/sccp_out145_en.htm; dan Encyclopedia of Pharmaceutical Technology, Edisi Kedua, Volume 1, halaman 519.)

No comments:

Post a Comment